Monday, March 16, 2015

TENTANG KEMATIAN # MaretMenulis 16



Kematian adalah hal paling misterius. Dia datang tanpa memberi kabar. Bahkan ketika penyakit sudah diprediksi oleh para ahli, kita tak pernah tau kapan kematian akan datang menjemput. Pun soal cara dia menjemput. Tak ada satupun dari kita manusia yang bisa memilih. 

Bapak saya meninggal karena kanker. Paru-parunya diinvasi sel kanker yang dengan cepat memonopoli usaha tubuh beliau untuk menghirup oksigen dan mengedarkannya ke tubuh. Tubuhnya hanya tulang berbalut kulit, kurus, saat meninggal. 
Saya menungguinya di hari-hari terakhir. Bapak tidak mau saya tinggal. Tidak pernah berkata pada saya, hanya kepada Ibu yang lalu meneruskannya pada saya malam itu. Paginya saya kirim email pembatalan kontrak kerja saya dengan beberapa klien, disusul dengan pergi ke bank untuk membayar beberapa pinalti atas kontrak-kontrak tersebut. Saya cuma merasa ini yang bisa dilakukan buat Bapak, yang telah membesarkan saya dengan baik, namun kerap saya kecewakan. 

Saat Bapak meninggal, saya yang disebelah beliau. Baru belasan menit sebelumnya saya bilang ke Ibu untuk istirahat dan sholat, biar saya yang menunggu Bapak sambil membaca Yassin. Bapak saya yang sudah berbulan-bulan berbatring, di rumah sakit sana-sini dan di rumah, yang bahkan berkat-kata sudah tak bisa jelas, dini hari itu hanya berucap kaki nya pegal. Yang Bapak minta hanya dipijit perlahan dan dikipasi walaupun AC sudah dinyalakan. Saya turuti keinginan Bapak. Sambil menuruti saran Oom saya yang datang hari sebelumnya untuk mengajak bapak menyebut nama Allah. 

Pagi itu menjelang subuh, Bapak pergi dengan tenang. Saya memanggil Ibu yang sedang menyiapkan susu hangat buat Bapak di dapur. Lalu saya lari ke Puskesmas depan rumah untuk memaaggil perawat dan memastikan secara medis kondisi Bapak. Adek saya yang ada di Jambi dan Jakarat saya telpon. Ibu menelpon semua keluarga terdekat kami. Tetangga datang. Semua berlalu dengan cepat. 
Sebagai anak tertua sekarang semua keputusan ada di tangan saya. Saya dan Ibu bahkan tak sempat menangis. Petugas dari masjid datang meminta persetujuan waktu pemakaman, makam mana yang dipilih, dan berapa tenda yang dipasang. Semua berlalu dengan cepat. Cepat sekali. 

Kematian memang punya caranya sendiri untuk tampil dalam hidup kita. Entah siapa yang dijemput dia terlebih ahulu, tak pernah tau. 
Kemaren malam, di tengah kesibukan acara pernikahan orang terdekat saya, dan obrolan saya dengan Ibu tentang masalah di rumah, saya menerima kabar tentang kematian lain. 
Kematian oleh kanker lain yang saya abaikan tanda-tandanya. Kematian yang tak pernah saya dan dia bahas. 

Ibunya meninggal kemarin, saya bahkan baru tahu 24 jam setelahnya. Dulu saya kira, momen ini tak akan pernah datang. Kami sama-sama bergelut dengan kanker yang merayapi orang tua kami. Tapi yang kami bahas selalu tentang ide-ide menarik masa depan, tentamg kontemplasi masa kini yang kita lakukan. Obrolan tentang penyakit ini kami simpan rapat-rapat. Cuma sebatas ucapan menguatkan sambil lalu dan nasehat-nasehat ringan yang kami lontarkan. 
Saya tak tau prosesnya, saya memaksa diri untuk tak mencari tau. Saya ikuti semua cara dia untuk perhatian dalam sunyi. Sekarang ada sedikit rasa sesal. Senarusnya saya kuatkan dan beranikan diri untuk melakukan yang saya mau. 
Kami sama-sama menghindar dari ketidaksiapan yang harus kami siap-siapkan ini. Dan sekarang bahkan saya tak semoat melayat karena di luar kota. Ucapan melalui selarik dua larik pesan di handphone yang bisa kita lakukan. 

Saya tahu dia akan kuat. Saya tau dia akan ikhlas. Yang saya tidak tau, apakah dia akan kecewa dan menyalahkan diri sendiri. Yang saya perjuangkan, adalah semoga hal terakhir tadi tidak terjadi. 

No comments:

Post a Comment