Tuesday, March 10, 2015

Long Distance Relationship #MaretMenulis 9






Saya masih ingat celetukan seorang teman beberapa waktu lalu; "Buat apa pacaran kalau LDR, jauh-jauhan. Nggak banget lah!" 
Memang bagi sebagian orang, sebuah hubungan mutlak butuh intensitas bertemu, saling sentuh, dan tatap muka. Namun kadang orang lupa, sebuah hubungan dimulai dari hati. Dari sebuah perasaan. Yang kita tak pernah tau variabel jarak, waktu, umur, ras, agama, dan lain-lain yang mengekor setelah perasaan dalam hati tadi. 

Saya menjalin hubungan jarak jauh. Kendati begitu, saya hampir tak pernah merasa merana. Long Distance Relationship bukan masalah yang besar. Memang tangan tak bisa selalu saling menggenggam, bibir tak sering bisa berpagut, dan badan tak kunjung berpeluk. Tapi lebih dari sekedar itu, hubungan kami sama seperti yang lain. Yang kadang membara oleh nafsu, kadang kaku karena bosan, atau menyenangkan karena menemukan hal baru. 

Apalagi teknologi kekinian sudah pesat membantu. Kalau dulu telepon lintas benua dirasa mahal. Belumlahi berhitung soal perbedaan jam, sekarang beragam aplikasi messanger terinstall rapi dalam smartphone kami. 
Sehari-hari kami berkomunikasi dengan tulisan dan suara. Sesekali kami bertatap muka. Sebut saja, skype, line, facetime, whatsapp siap membantu. Belum lagi saling bertukar cerita kehidupan melalui cara visual. Pokoknya semua masalah jarak kami bisa atasi. 

Sampai, pagi ini. Entah kenapa, rasa rindu seperti memburu dan tak mau menunggu. Sejak kemarin malam kami memang tak berkabar. Maklum kami sedang sama-sama sibuk dalam proyek masing-masing. Tapi hati memang tak bisa bohong. Saya kangen. Menjadi-jadi. 

Malam tadi layar smartphone saya tengok berkali-kali. Berharap selarik pesan muncul dari seberang. Namun kosong. Prasangka yang tidak-tidak mulai merangsek masuk dalam pikiran. Meracuni saya. 

Kadang memang saya lemah dan terjebak prasangka. Lupa bahwa dalam Long Distance Relationship, tak hanya bab komunikasi yang dijaga. Tapi ada satu kata kunci lagi; kepercayaan. Biasanya saya selalu percaya akan ada alasan kenapa pesan-pesan datang terlambat. 

Saya kadang lupa bahwa dia harus mempersiapkan buku karyanya yang sudah ditunggu editor akhir bulan ini. Saya sering lupa bahwa kadang dia tenggelam asik bersama berlembar-lembar kain dan berbagai macam bahan di studio demi menghasilkan karya. Kadang saya lupa dia juga punya banyak teman dan keluarga serta klien dan kolega untuk diberi perhatian. 

Keegoisan saya luluh, saat 26 jam lebih akhirnya saya menerima tiga baris tulisan terpampang di layar smartphone saya: 
"Sorry for late reply. I have to prepare special dinner to launch the exhibition.
18 people came, include the curator and publishing guy. 
Can't wait to catch you soon. I miss you :*" 

Seketika semuanya menjadi lapang. Saya tau kami saling mencintai. 
Saya tau dia mencintai saya. Dan saya tau bahwa saya memang begitu mencintainya. 





No comments:

Post a Comment