Tuesday, March 10, 2015

Moslemswear Dalam Perspektif Saya #MaretMenulis 10

-karya Hanie Hananto bersama The Executive, diambil dr palembang.tribunnews-



Sebagai seorang stylist dan fashion journalist, kejayaan moslemswear sudah ada dalam radar saya sejak hampir enam tahun lalu. Bila awalnya moslemswear hanya identitas religius, maka sejak enam tahun lalu, seiring dengan berkembangnya media sosial, moslemswear juga jadi viral.
Nama-nama semacam Hana Tajima, Dian Pelangi, hingga Dina Tokio fasih disebut para hijabers. Mereka ini, para hijabers, menggambarkan entitas moslemswear yang begitu kuat dan besar jumlahnya. 
Sampai dalam sebuah pembukaan pekan mode dua tahun lalu, para stakeholder mencanangkan, Indonesia harus jadi Ibu Kota moslemwear dunia, sejajar dengan Paris untuk fashion secara umum. 
Hal ini bukan utopia belaka. Kalau kita lihat arus perputaran transaksi di Tanah Abang yang begitu besar, dan lebih dari setengahnya didominasi dari industri dan perdagangan busana muslim, maka cita-cita memang layak diwujudkan. 

Dua tahun lalu dalam sebuah buyers meeting yang diadakan di sela-sela sebuah fashion week di Jakarta, saya menyaksikan sendiri betapa para buyers pengkonsumsi busana muslim ini benar-benar menganggap Indonesia adalah surga. Dubai, Qatar, Kuala Lumpur, Mesir, Maroko, Delhi, Brunei, adalah tempat mereka berasal. Semuanya sibuk membawa misi masing-masing. Yaitu menemukan busana muslim yang tepat dari para produsen dan designer untuk diboyong dan dipajang serta diperdagangkan di kalangan konsumen di negara mereka masing-masing. 

Namun moslemswear bukan berarti tanpa dinamika. Enam tahun, sejak 2009, saya menyaksikan betapa dinamisnya industri ini. Katakanlah dari perspektif saya yang fashion writers dan tukang review ini. 
Awal 2010 boleh jadi disebut titik balik dari semuanya. Moslemswear bukan lagi pemegang market niche. Konsumen sudah mulai menjatuhkan pilihannya. Nama-nama designer senior moslemswear mulai lagi terangkat. 
Di 2011, perkumpulan dan asosiasi pecinta moslemswear makin menunjukkan identitasnya. Kata hijabers yang melekat sebagai terminologi identitas mereka mulai fasih terdengar. Majalah khusus mengupas lini fashion muslim ini makin bertambah. Tidak sebatas sebagai suplemen Ramadhan dan Idul Fitri belaka. 
2012 saya sebut sebagai tahun euphoria dalam moslemswear. Keinginan tampil dan mengeksiskan diri beririsan dengan trend busana muslim yang makin menjadi. Gaya jilbab dan hijab menguar di udara sejadi-jadinya. Para fashion editor mulai jengah. Niat mulia mengekspresikan diri tak dibarengi dengan muatan estetis dan artistik. Para aktivis mulai menyuarakan kritik bahwa semua ini kebablasan. Konsep syar'i dihianati demi trend. 
Pada 2013, metamorphosis besar-besaran terjadi. Mereka yang awalnya konsumen dan end user, entah karena trend atau merasa mampu, tiba-tiba platonis berubah menjadi produsen. Designer baru bermunculan tiap minggu, label baru dilaunching setiap saat. Dari kalangan artis hingga ibu-ibu arisan berlomba-lomba mengeluarkan koleksi. Sebagian besar tak diimbangi dengan taste dan skill
 yang mumpuni. Secuil dari mereka sukses hingga detik ini. Mereka telah merasakan seleksi alam a la fashion yang kejam 
Kemudian 2014 adalah tahun perbaikan. Ibarat kata, mengutip surat Kartini, "Habis gelap, terbitlah terang". Sepanjang 2014 akan saya kenang sebagai renaissance dalam moslemwear. Designer dan label makin terseleksi. Bentuk dan kombinasi warna bak umbul-umbul tujuhbelasan tak lagi muncul. Hijab a la karnaval punah sudah. Perbaikan yang luar biasa. 

Namun di daerah-daerah, para pelaku industri ini seakan lupa tiga kata kunci utama dalam moslemswear; stylish, syar'i, dan wearable. 

Hemat saya, busana muslim harus sesuai dengan kodratnya yang syar'i. Bukannya gaun panjang transparan yang anda sumpal dengan dalaman yang disebut manset hijabers. Bukan lekuk tunuh sexy dan pantat tercetak serta dada membusung lalu mengemakan turban dan anting menggantung. 
Masih menurut hemat saya, busana muslim yang adalah produk fashion mutlak harus memenuhi unsur stylish. Estetika dan artistik tetap harus dijunjung tinggi. Tidak asal belasan meter kain yang diraping dan mullage ke sana ke mari sekujur tubuh. Bukan juga warna-warna neon yang bertabrakan bagai karnaval pesta tahun baru.
Dan yang paling akhir busana muslim juga harus wearable. Saya senang melihat wanita bergamis sederhana, syar'i, stylish dan masih bisa melangkah dengan bebas. Saya jengan dengan kaftan berjumbai meteran yang untuk jalan saja harus susah payah. Belum lagi total look runway yang sering kali diaplikasikan mentah-mentah dalam real way. Baju muslim ada kalanya dibuat terpisah namun tetap syar'i dan stylish. Bisa dipakai sendiri, nyaman untuk berjalan dan beraktifitas, leluasa untuk dilepas, dan mudah untuk dirawat. 

Seandainya teman-teman yang bergerak di induatri ini mau memadukan tiga kata kunci tadi dalam irisan yang cantik. Bukan mustahil; Indonesia akan jadi ibu kota fashion moslem secepatnya.


No comments:

Post a Comment