Sunday, March 22, 2015

MENDUNG #MaretMenulis 22



Apa yang terjadi ketika sinar mentari terhalang gumpalan awan? 
Mungkin sebagian penghuni bumi tertunduk lesu. Mesin-mesin yang mengolah makanan berhenti. Klorofil hijau tak tuntas difotosintesis. Dan pengiriman sari pati makanan terhenti. 

Apa yang terjadi ketika sang surya tertutup mega?
Mungkin sebagian dari mereka tersenyum. Lolos dari terik mentari yang membakar. Harapan muncul, kondensasi uap air terus didoakan. Hingga turun bagai mantra yang membasahi bumi. Mengairi tiap jengkal delta sungai dan menyuburkan hektaran sawah. 

Apa yang terjadi ketika mentari bersembunyi dibalik mendung? 
Mungkin resah gelisah mereka terbit. Berdiam diri di rumah dalam khawatir tanpa jeda. Siap siaga setiap saat menyambut bah yang tak diharapkan. 

Apa yang terjadi ketika sang surya dibekap kumulus?
Bumi tetap berputar, sawah terus dibajak, air tak surut mengalir, dedaunan menghidupi bumi. 
Dan manusia tak kunjung berubah. Culas dan lupa berayukur. 

Monday, March 16, 2015

TENTANG KEMATIAN # MaretMenulis 16



Kematian adalah hal paling misterius. Dia datang tanpa memberi kabar. Bahkan ketika penyakit sudah diprediksi oleh para ahli, kita tak pernah tau kapan kematian akan datang menjemput. Pun soal cara dia menjemput. Tak ada satupun dari kita manusia yang bisa memilih. 

Bapak saya meninggal karena kanker. Paru-parunya diinvasi sel kanker yang dengan cepat memonopoli usaha tubuh beliau untuk menghirup oksigen dan mengedarkannya ke tubuh. Tubuhnya hanya tulang berbalut kulit, kurus, saat meninggal. 
Saya menungguinya di hari-hari terakhir. Bapak tidak mau saya tinggal. Tidak pernah berkata pada saya, hanya kepada Ibu yang lalu meneruskannya pada saya malam itu. Paginya saya kirim email pembatalan kontrak kerja saya dengan beberapa klien, disusul dengan pergi ke bank untuk membayar beberapa pinalti atas kontrak-kontrak tersebut. Saya cuma merasa ini yang bisa dilakukan buat Bapak, yang telah membesarkan saya dengan baik, namun kerap saya kecewakan. 

Saat Bapak meninggal, saya yang disebelah beliau. Baru belasan menit sebelumnya saya bilang ke Ibu untuk istirahat dan sholat, biar saya yang menunggu Bapak sambil membaca Yassin. Bapak saya yang sudah berbulan-bulan berbatring, di rumah sakit sana-sini dan di rumah, yang bahkan berkat-kata sudah tak bisa jelas, dini hari itu hanya berucap kaki nya pegal. Yang Bapak minta hanya dipijit perlahan dan dikipasi walaupun AC sudah dinyalakan. Saya turuti keinginan Bapak. Sambil menuruti saran Oom saya yang datang hari sebelumnya untuk mengajak bapak menyebut nama Allah. 

Pagi itu menjelang subuh, Bapak pergi dengan tenang. Saya memanggil Ibu yang sedang menyiapkan susu hangat buat Bapak di dapur. Lalu saya lari ke Puskesmas depan rumah untuk memaaggil perawat dan memastikan secara medis kondisi Bapak. Adek saya yang ada di Jambi dan Jakarat saya telpon. Ibu menelpon semua keluarga terdekat kami. Tetangga datang. Semua berlalu dengan cepat. 
Sebagai anak tertua sekarang semua keputusan ada di tangan saya. Saya dan Ibu bahkan tak sempat menangis. Petugas dari masjid datang meminta persetujuan waktu pemakaman, makam mana yang dipilih, dan berapa tenda yang dipasang. Semua berlalu dengan cepat. Cepat sekali. 

Kematian memang punya caranya sendiri untuk tampil dalam hidup kita. Entah siapa yang dijemput dia terlebih ahulu, tak pernah tau. 
Kemaren malam, di tengah kesibukan acara pernikahan orang terdekat saya, dan obrolan saya dengan Ibu tentang masalah di rumah, saya menerima kabar tentang kematian lain. 
Kematian oleh kanker lain yang saya abaikan tanda-tandanya. Kematian yang tak pernah saya dan dia bahas. 

Ibunya meninggal kemarin, saya bahkan baru tahu 24 jam setelahnya. Dulu saya kira, momen ini tak akan pernah datang. Kami sama-sama bergelut dengan kanker yang merayapi orang tua kami. Tapi yang kami bahas selalu tentang ide-ide menarik masa depan, tentamg kontemplasi masa kini yang kita lakukan. Obrolan tentang penyakit ini kami simpan rapat-rapat. Cuma sebatas ucapan menguatkan sambil lalu dan nasehat-nasehat ringan yang kami lontarkan. 
Saya tak tau prosesnya, saya memaksa diri untuk tak mencari tau. Saya ikuti semua cara dia untuk perhatian dalam sunyi. Sekarang ada sedikit rasa sesal. Senarusnya saya kuatkan dan beranikan diri untuk melakukan yang saya mau. 
Kami sama-sama menghindar dari ketidaksiapan yang harus kami siap-siapkan ini. Dan sekarang bahkan saya tak semoat melayat karena di luar kota. Ucapan melalui selarik dua larik pesan di handphone yang bisa kita lakukan. 

Saya tahu dia akan kuat. Saya tau dia akan ikhlas. Yang saya tidak tau, apakah dia akan kecewa dan menyalahkan diri sendiri. Yang saya perjuangkan, adalah semoga hal terakhir tadi tidak terjadi. 

Thursday, March 12, 2015

BURJO #MaretMenulis 11

i


Burjo, begitu tempat ini biasa disebut di Jogja. Kalau orang bertanya pada saya, apa tempat makanan khas Jogja lainnya selain gudeg dan angkringan, maka jawaban saya adalah burjo. Singkatan dari bubur kacang ijo ini sudah mengalami pergeseran makna sedemikian rupa. Tempat yang dulu menjual menu utama bubur kacang ijo, sekarang bahkan susah menemukan yang satu itu. Berganti dengan aneka minuman kemasan sachet yang siap diramu dalam gelas anda. Yang bila lapar, anda bisa memesan mie instan rebus atau goreng, dengan atau tanpa telur. 

Burjo seakan sudah menjadi identitas anak muda jogja. Pagi sarapan teh hangat dan gorengan di burjo, siang makan nasi telur, malam pilih mie instan rebus dengan telur. Saat tanggal tua tiba, burjo yang murah meriah ini bisa jadi tumpuan; murah, menu lengkap, dan kadang bisa ngebon juga. 

Sekarang burjo makin komplit aneka olahan mie instan bermetamorfosis. Tak sekedar varian goreng atau rebus, mereka bisa diolah dalam bentuk omlet, magelangan (nasi goreng dan mie goreng yang dikawin silangkan, pizza, bahkan dimiripkan dengan gambar dalam kemasannya. 
Nama-nama unik khas singkatan Jogja juga akan membuat kita tersenyum saat membaca daftar menu yang dipampang besar-besar. Intel untuk varian indomie dengan tambahan telur. Tante, indomie atau mie instan tanpa telur. Nastel untuk nasi telur; nasi putih panas mengepul yang disajikan dengan sayur, tumis tempe, dan tokoh utamanya; telur dadar gurih, disajikan dengan sambal. 
Varian minuman ada sogem, singkatan dari soda gembira yang klasik. Air soda dituang dalam gelas berisi es batu dengan susu kental manis melimpah dan sirup frambozen yang membuat semarak warna. Ada joshua, bukan diobok-obok, tapi campuran minuman suplemen energi extra joss dengan susu. 

Seakan ikut berlari mengikuti perkembangan jaman, banyak burjo difasilitasi wifi. Rapat-rapat mahasiswa pun kerap diadakan di sini. Mulai dari rapat aktivis sekelas BEM hingga belajar kelompok sistem kebut semalam menjelang deadline makalah atau ujian. 
Tak jarang, bagi yang berkantong tipis, pacaran juga dilakukan di burjo. Alasannya irit, merakyat, mamun tetap romantis. 

Burjo memang one stop place. Mengisi perut beres, sosialisasi pun sukses. 
Buat anda yang di Jogja; "Sudah kah ke burjo hari ini?" 


---



Tulisan ini saya buat di burjo sekitar AM Sangaji, setelah seorang teman mengajak saya makan di cafe yang sudah lewat batas order. Dan masih dengan mood jengkel karena seminggu terakhir selalu dikhianati janji-janji berjumpa di burjo yang tak kunjung terlaksana. 

Tuesday, March 10, 2015

Moslemswear Dalam Perspektif Saya #MaretMenulis 10

-karya Hanie Hananto bersama The Executive, diambil dr palembang.tribunnews-



Sebagai seorang stylist dan fashion journalist, kejayaan moslemswear sudah ada dalam radar saya sejak hampir enam tahun lalu. Bila awalnya moslemswear hanya identitas religius, maka sejak enam tahun lalu, seiring dengan berkembangnya media sosial, moslemswear juga jadi viral.
Nama-nama semacam Hana Tajima, Dian Pelangi, hingga Dina Tokio fasih disebut para hijabers. Mereka ini, para hijabers, menggambarkan entitas moslemswear yang begitu kuat dan besar jumlahnya. 
Sampai dalam sebuah pembukaan pekan mode dua tahun lalu, para stakeholder mencanangkan, Indonesia harus jadi Ibu Kota moslemwear dunia, sejajar dengan Paris untuk fashion secara umum. 
Hal ini bukan utopia belaka. Kalau kita lihat arus perputaran transaksi di Tanah Abang yang begitu besar, dan lebih dari setengahnya didominasi dari industri dan perdagangan busana muslim, maka cita-cita memang layak diwujudkan. 

Dua tahun lalu dalam sebuah buyers meeting yang diadakan di sela-sela sebuah fashion week di Jakarta, saya menyaksikan sendiri betapa para buyers pengkonsumsi busana muslim ini benar-benar menganggap Indonesia adalah surga. Dubai, Qatar, Kuala Lumpur, Mesir, Maroko, Delhi, Brunei, adalah tempat mereka berasal. Semuanya sibuk membawa misi masing-masing. Yaitu menemukan busana muslim yang tepat dari para produsen dan designer untuk diboyong dan dipajang serta diperdagangkan di kalangan konsumen di negara mereka masing-masing. 

Namun moslemswear bukan berarti tanpa dinamika. Enam tahun, sejak 2009, saya menyaksikan betapa dinamisnya industri ini. Katakanlah dari perspektif saya yang fashion writers dan tukang review ini. 
Awal 2010 boleh jadi disebut titik balik dari semuanya. Moslemswear bukan lagi pemegang market niche. Konsumen sudah mulai menjatuhkan pilihannya. Nama-nama designer senior moslemswear mulai lagi terangkat. 
Di 2011, perkumpulan dan asosiasi pecinta moslemswear makin menunjukkan identitasnya. Kata hijabers yang melekat sebagai terminologi identitas mereka mulai fasih terdengar. Majalah khusus mengupas lini fashion muslim ini makin bertambah. Tidak sebatas sebagai suplemen Ramadhan dan Idul Fitri belaka. 
2012 saya sebut sebagai tahun euphoria dalam moslemswear. Keinginan tampil dan mengeksiskan diri beririsan dengan trend busana muslim yang makin menjadi. Gaya jilbab dan hijab menguar di udara sejadi-jadinya. Para fashion editor mulai jengah. Niat mulia mengekspresikan diri tak dibarengi dengan muatan estetis dan artistik. Para aktivis mulai menyuarakan kritik bahwa semua ini kebablasan. Konsep syar'i dihianati demi trend. 
Pada 2013, metamorphosis besar-besaran terjadi. Mereka yang awalnya konsumen dan end user, entah karena trend atau merasa mampu, tiba-tiba platonis berubah menjadi produsen. Designer baru bermunculan tiap minggu, label baru dilaunching setiap saat. Dari kalangan artis hingga ibu-ibu arisan berlomba-lomba mengeluarkan koleksi. Sebagian besar tak diimbangi dengan taste dan skill
 yang mumpuni. Secuil dari mereka sukses hingga detik ini. Mereka telah merasakan seleksi alam a la fashion yang kejam 
Kemudian 2014 adalah tahun perbaikan. Ibarat kata, mengutip surat Kartini, "Habis gelap, terbitlah terang". Sepanjang 2014 akan saya kenang sebagai renaissance dalam moslemwear. Designer dan label makin terseleksi. Bentuk dan kombinasi warna bak umbul-umbul tujuhbelasan tak lagi muncul. Hijab a la karnaval punah sudah. Perbaikan yang luar biasa. 

Namun di daerah-daerah, para pelaku industri ini seakan lupa tiga kata kunci utama dalam moslemswear; stylish, syar'i, dan wearable. 

Hemat saya, busana muslim harus sesuai dengan kodratnya yang syar'i. Bukannya gaun panjang transparan yang anda sumpal dengan dalaman yang disebut manset hijabers. Bukan lekuk tunuh sexy dan pantat tercetak serta dada membusung lalu mengemakan turban dan anting menggantung. 
Masih menurut hemat saya, busana muslim yang adalah produk fashion mutlak harus memenuhi unsur stylish. Estetika dan artistik tetap harus dijunjung tinggi. Tidak asal belasan meter kain yang diraping dan mullage ke sana ke mari sekujur tubuh. Bukan juga warna-warna neon yang bertabrakan bagai karnaval pesta tahun baru.
Dan yang paling akhir busana muslim juga harus wearable. Saya senang melihat wanita bergamis sederhana, syar'i, stylish dan masih bisa melangkah dengan bebas. Saya jengan dengan kaftan berjumbai meteran yang untuk jalan saja harus susah payah. Belum lagi total look runway yang sering kali diaplikasikan mentah-mentah dalam real way. Baju muslim ada kalanya dibuat terpisah namun tetap syar'i dan stylish. Bisa dipakai sendiri, nyaman untuk berjalan dan beraktifitas, leluasa untuk dilepas, dan mudah untuk dirawat. 

Seandainya teman-teman yang bergerak di induatri ini mau memadukan tiga kata kunci tadi dalam irisan yang cantik. Bukan mustahil; Indonesia akan jadi ibu kota fashion moslem secepatnya.


Long Distance Relationship #MaretMenulis 9






Saya masih ingat celetukan seorang teman beberapa waktu lalu; "Buat apa pacaran kalau LDR, jauh-jauhan. Nggak banget lah!" 
Memang bagi sebagian orang, sebuah hubungan mutlak butuh intensitas bertemu, saling sentuh, dan tatap muka. Namun kadang orang lupa, sebuah hubungan dimulai dari hati. Dari sebuah perasaan. Yang kita tak pernah tau variabel jarak, waktu, umur, ras, agama, dan lain-lain yang mengekor setelah perasaan dalam hati tadi. 

Saya menjalin hubungan jarak jauh. Kendati begitu, saya hampir tak pernah merasa merana. Long Distance Relationship bukan masalah yang besar. Memang tangan tak bisa selalu saling menggenggam, bibir tak sering bisa berpagut, dan badan tak kunjung berpeluk. Tapi lebih dari sekedar itu, hubungan kami sama seperti yang lain. Yang kadang membara oleh nafsu, kadang kaku karena bosan, atau menyenangkan karena menemukan hal baru. 

Apalagi teknologi kekinian sudah pesat membantu. Kalau dulu telepon lintas benua dirasa mahal. Belumlahi berhitung soal perbedaan jam, sekarang beragam aplikasi messanger terinstall rapi dalam smartphone kami. 
Sehari-hari kami berkomunikasi dengan tulisan dan suara. Sesekali kami bertatap muka. Sebut saja, skype, line, facetime, whatsapp siap membantu. Belum lagi saling bertukar cerita kehidupan melalui cara visual. Pokoknya semua masalah jarak kami bisa atasi. 

Sampai, pagi ini. Entah kenapa, rasa rindu seperti memburu dan tak mau menunggu. Sejak kemarin malam kami memang tak berkabar. Maklum kami sedang sama-sama sibuk dalam proyek masing-masing. Tapi hati memang tak bisa bohong. Saya kangen. Menjadi-jadi. 

Malam tadi layar smartphone saya tengok berkali-kali. Berharap selarik pesan muncul dari seberang. Namun kosong. Prasangka yang tidak-tidak mulai merangsek masuk dalam pikiran. Meracuni saya. 

Kadang memang saya lemah dan terjebak prasangka. Lupa bahwa dalam Long Distance Relationship, tak hanya bab komunikasi yang dijaga. Tapi ada satu kata kunci lagi; kepercayaan. Biasanya saya selalu percaya akan ada alasan kenapa pesan-pesan datang terlambat. 

Saya kadang lupa bahwa dia harus mempersiapkan buku karyanya yang sudah ditunggu editor akhir bulan ini. Saya sering lupa bahwa kadang dia tenggelam asik bersama berlembar-lembar kain dan berbagai macam bahan di studio demi menghasilkan karya. Kadang saya lupa dia juga punya banyak teman dan keluarga serta klien dan kolega untuk diberi perhatian. 

Keegoisan saya luluh, saat 26 jam lebih akhirnya saya menerima tiga baris tulisan terpampang di layar smartphone saya: 
"Sorry for late reply. I have to prepare special dinner to launch the exhibition.
18 people came, include the curator and publishing guy. 
Can't wait to catch you soon. I miss you :*" 

Seketika semuanya menjadi lapang. Saya tau kami saling mencintai. 
Saya tau dia mencintai saya. Dan saya tau bahwa saya memang begitu mencintainya. 





Friday, March 6, 2015

ISU LINGKUNGAN DALAM FASHION PERFORMANCE KARYA RETNO TAN #MaretMenulis 6



RETNO TAN 
JOGJA FASHION FESTIVAL 2015

Kesehariannya sebagai seniman, pecinta lingkungan, fashion designer, dan penyelam; membuat Retno Tan tergugah mengkolaborasikan semuanya dalam sebuah panggung. 
Alih-alih fashion show, Retno mempersembahkan fashion performance, dengan para penari dari Papua dan muse, Sheila Marcia. 
Baju rancangannya yang collectible, terbuat dari kain perca, dan sampah (plastik kemasan, sponge buah pear, dll) daur ulang. Semuanya Dibawakan dengan apik dalam gerak tari kontemporer. 
Hal ini adalah wujud kerisauan Retno terhadap sampah yang menyerbu membabi buta bahkan di kedalaman laut. Gelisahnya makin menjadi saat di Indonesia Timur, area diving favoritnya pun tak luput dari jamahan sampah plastik yang merusak. 
Tampaknya Retno Tan berhasil mengusik hati para penikmat fashion, selakn bertepuk tangan mengapresiasi, banyak dari penikmat pun diarahkan berpikir; bahwa sustainable fashion dan eco-friendly fashion adalah jawaban.




Thursday, March 5, 2015

BUAH NAGA FAVORIT MU #MaretMenulis 5



Pagi ini aku tergopoh-gopoh masuk supermarket untuk membeli susu kedelai demi sarapan sehat. Berjuang melewati gang sempit tempat buah-buahan dan sayur-sayuran bertumpuk rapi dalam boks dan rak menunggu untuk dipilih, dimasukkan plastik, lalu ditimbang dan dibawa pulang. 
Di sana; di dekat tumpukan jambu biji yang hijau kekuningan menyembunyikan rona merah dan kusam manggis yang sedang musim, kulihat tumpukan merah semarak, sekuat tenaga menyembunyikan layu yang mulai menggerogoti. Ada buah naga. 

Yang kuingat buah naga adalah favorit mu. Masih kuingat celetukanmu saat kita lewat kios buah hampir dua bulan lalu. Kamu bilang, buah naga membuatmu penasaran. Keeksotisannya yang tersohor, rasanya yang dibatas impian dan kenyataan, serta warnanya yang menyayat realita. 

Aku masih ingat, rencana berkunjung ke galeri siang itu berubah menjandi icip-icip buah tropis dadakan. Kita berdua menekuni kios buah di tepi jalan ramai, memesan jus aneka rupa warna dan rasa. Mencoba segala macam buah yang belum pernah kau pegang. 
Sirkaya, manggis, jambu biji, sawo, alpukat, salak, kelengkeng, ternyata tak cukup elok untuk mencuri perhatian mu. Buah naga lah yang kamu pilih. Irisan pertama membuatmu berdecak kagum. Warnanya luar biasa, meminjam bahasamu mendefinisikan. 

Pagi ini aku sejenak berhenti di hadapan tumpukan buah naga yang nyaris menuju layu. Terpinggirkan setelah perayaan Imlek berlalu. Ada segurat rindu yang menebal saat aku melihat warna merahnya. Rindu yang hanya bisa terlampiaskan dalam kata demi kata yang tersendat dalam bantuan teknologi yang menghubungkan kita. 

Aku rindu.
Rindu menjemput senja bersamamu. Rindu bertualang di lorong pasar tradisional yang selalu membuatmu berdecak kagum. Rindu dengan ritual sarapan kita berdua. 

Aku rindu.
Rindu obrolan kita yang sesemarak buah naga. Rindu senyuman yang selalu kau sunggingkan diantara cium bibirmu. 

Aku rindu pembicaraan kita saat lampu sudah kita matikan. Rindu dengan segala penerimaanmu. Rindu dengan genggaman tangan yang tak pernah absen sebelum kita sejenak berpisah pulang tiap hari.

Aku rindu. 
Aku rindu kamu. 


Selasar lantai dua cafe sepi
5 Maret 2015
20:15